EVENT / Others / July 2018

Batik dalam Tradisi Pernikahan Jawa

Dalam pernikahan tradisional adat Jawa sering kita menemui penggunaan batik untuk busana. Batik digunakan baik oleh pengantin, orangtua pengantin, bahkan anggota keluarga dan pengiring pengantin. Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini batik sudah menjadi salah satu warisan dunia  dari budaya Indonesia yang diakui UNESCO.

Tak sekadar bagian keutuhan estetika berbusana Jawa, kain juga merupakan cerminan kedudukan sosial serta bentuk harapan pemakaianya. Dalam pernikahan adat Jawa, batik memiliki makna tersendiri di setiap prosesi upacaranya. Berikut seputar penggunaan batik dalam prosesi pernikahan adat Jawa yang dilansir dari laman thewedding.id:

 

Penembung

Dalam proses penembung (lamaran) busana yang dikenakan adalah Jawi. Artinya memakai kain batik dan baju beskap tanpa keris. Pada proses ini status sosial pengantin akan diketahui. Apabila menggunakan batik dengan motif parang rusak atau parang-parangan itu tandanya berasal dari golongan leluhur. Golongan priyayi akan menggunakan batik semenan latar putih, dan untuk golongan sepuh atau kalangan kebanyakan akan menggunakan batik latar hitam.

 

Paningset

Pada prosesi ini, calon pengantin laki-laki akan menggunakan batik motif satrio manah. Batik motif satrio manah mengandung makna memanah jantung hati calon istrinya dengan harapan Anda akan berbakti selamanya kepada pasangan.

Sedangkan calon pengantin wanita yang akan diikat dengan perjodohan mengenakan batik semen rante. Rante berarti belenggu, penggunaan kain motif ini dalam pernikahan bermakna bersedia atau sanggup menjadi calon pendamping suami dengan ikatan batin dan bersedia untuk menutup hatinya untuk laki-laki lain.

 

Siraman

Dalam upacara siraman, busana yang kenakan oleh calon pengantin wanita  adalah kain batik wahyu tumuran dan kembenan menggunakan kain bangun tulak (berlaku di Keraton Surakarta). Penggunaan kain tersebut sebagai busana siraman bermakna agar dijauhkan  dari segala godaan dan rintangan serta diberikan wahyu.

Sedangkan, orang tua akan mengenakan batik cakar sabuk kemben bangun tulak. Nama dari batik cakar diambil dari sebutan kaki ayam yang bermakna agar mempelai dapat mencari makannya sendiri dan tidak lagi bergantung pada orangtuanya.

Setelah melakukan siraman maka pengantin wanita  akan menggunakan busana kain kembangan, baju kebaya dan kain bermotif sama (setelan). Bermakna keikhlasan akan meninggalkan status gadis dan menjalani hidup berumah tangga.

 

Jonggolan

Busana yang dipakai pada prosesi jonggolan adalah Jawi Jangkep. Bagi keraton solo busana Jawi Tangkep yaitu busana langenharjan putih dengan kain batik semen rama atau satria wibawa. Sedangkan untuk masyarakat umum busana Jawi Jangkep adalah beskap putih dengan kain bathik wahyu Tumuran.

 

Turunnya Kembar Mayang

Busana yang dikenakan saat ijab biasanya adalah basahan, Jawi Jangkep, ataupun Lenganharjan. Kain batik yang akan dikenakan adalah Sidamulya, Sidamukti, dll. Batik Sidamulya dan Sidamukti   mempunyai motif yang sama, yang membedakan hanya warna dasarnya. Jika Sidamulya berwarna dasar putih, Sidaluhur berwarna dasar hitam, maka Sidomukti memiliki warna dasar pelataran ukel.

Batik Sidamulya bermakna dalam kehidupan kelak tercukupi kebutuhan materi dan tercapai kemulyaan. Makna dari batik Sidaluhur yaitu dalam kehidupannya bisa mencapai kedudukan yang tinggi dan menjadi anutan masnyarakat. Sidamukti bermakna dalam kehidupannya kelak  mencapai kebahagiaan, tercukupi materi, mendapat kedudukan sehingga dihormati oleh masyarakat. Sedangkan Sidaasih bermakna mendapat perhatian dari sesama dan saling mengasihi atau di-tresnani sesamanya

 

*Sumber: http://thewedding.id/planning-2/batik-dalam-tradisi-pernikahan-9968

*Foto: https://www.shopgypsied.com/blogs/textile-stories-asia/5-ancient-indonesian-batik-patterns-their-meanings